Minggu, 18 Januari 2015

Kasus yang Berkaitan dengan Ras dan Agama



MAKALAH ILMU SOSIAL DASAR
KASUS YANG BERKAITAN DENGAN RAS DAN AGAMA




PITRY PRASETYA MULYA
28414454
1-IC03
UNIVERSITAS GUNDARMA





KATA PENGANTAR
Rasa syukur yang dalam kami sampaikan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pemurah, karena berkat kemurahanNya makalah ini dapat penulis selesaikan sesuai yang diharapkan. Dalam makalah ini penulis membahas tentang “Kasus yang berkaitan dengan RAS dan Agama”.
Makalah ini dibuat dalam rangka tugas yang merupakan syarat pemberian nilai untuk mata kuliah Ilmu Sosial Dasar.
Dalam  proses pendalaman materi Kasus yang berkaitan dengan RAS dan Agama,  tentunya penulis mendapatkan bimbingan, arahan, koreksi dan saran, untuk itu rasa terima kasih yang sedalam-dalamnya  penulis sampaikan kepada :
1.      Ibu Ratna Komala, Dr selaku dosen mata kuliah “Ilmu Sosial Dasar”
2.      Rekan-rekan mahasiswa 1IC03 Teknik Mesin, Universitas Gunadarma yang telah banyak memberikan masukan untuk makalah ini.
Demikian makalah ini saya buat semoga bermanfaat.

Depok, 31 Desember 2014


(Pitry Prasetya Mulya)





Mencari suatu study kasus yang berkaitan dengan Ras & dan agama
A.    PERMASALAHAN
1.      Faktor- faktor Konflik Ditinjau dari Aspek Agama
            Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk Tuhan. Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai alat pemersatu sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali menampakkan diri sebagai sesuatu yang berwajah ganda”[19] Hal ini sama dengan pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada suatu waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan, persatuan, dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah menimbulkan peperangan.[20] Konflik sosial yang berbau agama bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :
a.       Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)
      Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran. Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.
      Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme, ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial, fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-lebihan dalam melakukan tindakan fisik.
      Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan (mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan, masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat muatan agamanya, dari pada politisnya.
b.      Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku
      Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga muncul benih-benih sektarianisme. Seperti dalam kasus Dr. AM Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan seseorang yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi kerusuhan.
c.       Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam Kehidupan Beragama
      Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya, karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita bahwa agama yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi ceritanya, jika yang perang adalah agama kita dengan agama lainnya. Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah perjuangan untuk melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.
      Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka yang berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan mereka berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi sumber kebenaran.
2.      Perbedaan Konsepsi dan Sikap Anti Agama
            Terhadap konflik yang terjadi antara umat beragama telah menimbulkan dua kutub pemikiran yang berbeda. Pertama, sikap “anti agama” yaitu berupa penegasian dan pengingkaran peran agama dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara. Agama dianggap sebagai sumber konflik, sehingga harus disingkirkan. Agama dianggap tidak  mempunyai peranan penting dalam kehidupan sehingga harus disingkirkan. Agama dianggap sebagai salah satu penyebab terjadinyaa pembunuhan dan kematian di antara umat manusia, sehingga sudah saatnya dilenyapkan, sebagaimana dikatakan John Lennon dalam syair lagunya Imagine, “There is no religion too”.
            Sikap anti agama ini, yang berakar di Eropa, kiranya dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah Eropa abad pertengahan yang mengalami ketertinggalan dalam hampir seluruh aspek kehidupan. Dalam konteks ini, agama  –yang direpresentasikan oleh para pemuka agama (Gereja)- dianggap menjadi faktor penghambat kemajuan Eropa di samping istana dan kaum borjuis. Menyandarkan peradaban pada nilai-nilai agama dianggap tidak sesuai dengan semangat Renaissance dan Humanisme Eropa yang telah mengubah paradigma Eropa, dari pandangan-pandangan makrokosmos kepada mikrokosmos, di mana rasionalitas  dianggap sebagai alat pencari dan pengukur kebenaran yang bisa diakui validitasnya. Paham ini, pada kenyataannya berkembang terus, di berbagai belahan dunia, baik yang mayoritas penduduknya Islam maupun Kristen.
            Kendatipun demikian, gagasan “melenyapkan” peran agama dalam peradaban umat manusia, dalam kenyataannya tetap dianggap absurd, dan tidak sesuai dengan realitas. Tokoh-tokoh politik Eropa, pasca Renaissance, meskipun tidak menyukai perilaku berbagai pemuka agama, akhirnya juga memerlukan agama untuk kepentingan mereka.
            Arnold Toynbee, pakar sejarah, menekankan peran agama dalam peradaban. Ia meneliti aspek peran dinamis agama dalam kelahiran dan kehancuran satu peradaban. Ia menyimpulkan bahwa banyak peradaban yang hancur (mati) karena “bunuh diri” dan bukan karena benturan dengan kekuatan luar. Dalam studi yang mendalam tentang kebangkitan dan kehancuran peradaban, Tonbee menemukan bahwa agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai chrysalis ‘kepompong’ yang merupakan cikal bakal tumbuhnya peradaban. Antara  kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada satu kelompok yang disebut Toynbee creative minorities yang dengan spiritualitas mendalam (deep spiritual) atau motivasi agama (religious motivation)- bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban lama. Karena itu,  aspek spiritual memainkan peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban. Peradaban yang telah hilang spiritualitasnya, ia akan mengalami penurunan.

B.     DAMPAK YANG DI TIMBULKAN DARI PERMASALAHAN RAS & AGAMA
1.      Memicu munculnya sektarianisme, agama  melarang umatnya hanya mementingkan                                                                           kesukuan atau kelompoknya.
2.      Memunculkan permusuhan antar kelompok, perasaan melebihkan kelompok sendiri, dan merendahkan kelompok yang lain menjadi pemicu perseturuan antar kelompok.
3.      Mengundang masalah social yang baru, karena secara social seseorang tidak disikapi secara wajar, maka sikap diskriminasi dapat memancing munculnya masalah social yang bertentangan dengan ajaran islam.
4.      Menciptakan penindasan dan otoritarianisme dalam kehidupan, karena adanya perasaan lebih dan sentimen terhadap kelompok, sehingga hak-hak kelompok lain diabaikan.
5.      Menghambat kesejahteraan kehidupan, sikap diskriminasi lebih menonjolkan sikap egoisme pribadi ataupun kelompok.
6.      Menghalangi tegaknya keadilan, jika sikap diskriminasi dominan, maka keadilan sulit ditegakkan, karena dalam mengambil keputusan suatu masalah, selalu didasarkan pada pertimbangan subyektif diri atau kelompok yang dibelanya.
7.      Menjadi pintu kehancuran masyarakat, jika dibiarkan sikap diskriminasi akan dapat menghancurkan sendi-sendi kehidupan social.
8.      Mempersulit penyelesaian masalah, persoalan yang dihadapi mestinya segera diselesaikan secara baik, namun karena adanya sikap diskriminasi menjadi berlarut-larut.

C.    ALTERNATIF PENANGGULANGAN
1.      Adapun kebijakan yang diperlukan guna memperkukuh upaya integrasi nasional adalah sebagai berikut:
a.       Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b.      Menciptakan kondisi yang mendukung komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu dan membiasakan diri untuk selalu membangun konsensus.
c.       Membangun kelembagaan (Pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d.      Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa, yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e.       Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan efektif.
2.      Strategi Penanggulangan Perpecahan Bangsa
            Adapun strategi yang digunakan dalam penanggulangan perpecahan bangsa adalah antara lain:
a.       Menanamkan nilai-nilai Pancasila, jiwa sebangsa dan setanah air dan rasa persaudaraan, agar tercipta kekuatan dan kebersamaan di kalangan rakyat Indonesia.
b.      Menghilangkan kesempatan untuk berkembangnya primodialisme sempit pada setiap kebijaksanaan dan kegiatan, agar tidak terjadi KKN.
c.       Meningkatkan ketahanan rakyat dalam menghadapi usaha-usaha pemecah – belahan dari anasir luar dan kaki tangannya.
d.      Penyebaran dan pemasyarakatan wawasan kebangsaan dan implementasi butir-butir Pancasila, dalam rangka melestarikan dan menanamkan kesetiaan kepada ideologi bangsa.
e.       Menumpas setiap gerakan separatis secara tegas dan tidak kenal kompromi.
f.       Membentuk satuan sukarela yang terdiri dari unsur masyarakat, TNI dan Polri dalam memerangi separatis.
g.      Melarang, dengan melengkapi dasar dan aturan hukum setiap usaha untuk menggunakan kekuatan massa.
3.      Upaya Penanggulangan
            Dari hasil analisis diperlukan suatu upaya pembinaan yang efektif dan berhasil, diperlukan pula tatanan, perangkat dan kebijakan yang tepat guna memperkukuh integrasi nasional antara lain:
a.       Membangun dan menghidupkan terus komitmen, kesadaran dan kehendak untuk bersatu.
b.      Menciptakan kondisi dan membiasakan diri untuk selalu membangun consensus.
c.       Membangun kelembagaan (pranata) yang berakarkan nilai dan norma yang menyuburkan persatuan dan kesatuan bangsa.
d.      Merumuskan kebijakan dan regulasi yang konkret, tegas dan tepat dalam aspek kehidupan dan pembangunan bangsa yang mencerminkan keadilan bagi semua pihak, semua wilayah.
e.       Upaya bersama dan pembinaan integrasi nasional memerlukan kepemimpinan yang arif dan bijaksana, serta efektif.









SUMBER PUSTAKA

Tidak ada komentar:

Posting Komentar